Welcome

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

BEBERAPA PENDEKATAN TERHADAP PENELITIAN KARYA SASTRA

Kamis, 21 April 2011

Agar mendapat pemaknaan yang mendalam dan kaya saat menikmati sebuah karya sastra maka aku mencoba mencari buku yang berkaitan dengan metode penelitian sastra. Dan alhamdulillah, di perpustakaan kotaku, kutemukan Metodololgi Penelitian Sastra, sebuah buku yang berisi kumpulan makalah yang ditulis oleh para pakar sastra berkaitan tentang prosedur umum kegiatan penelitian sastra, prosedur khusus penelitian sastra, dan berbagai alrternatif pendekatan sastra dengan dilengkapi contoh-contoh konkretnya. Dan terhadap buku itu, tidak semuanya kubaca, hanya yang kuperlukan saja, sesuai kebutuhanku, yakni beberapa tentang pendekatan penelitian sastra.
Dalam buku ini, aku belajar tujuh macam pendekatan sastra: strukturalisme, semiotik, intertekstual, resepsi, stilistika, sosiologi sastra dan dekonstrusi. Tentang strukturalisme aku belajar dari tiga tulisan mereka:  Analisis Struktural: Salah Satu Pendekatan dalam Penelitian Sastra makalah Drs. Tirto Suwondo, Penelitian Sastra dalam Persepektif Genetik Dr. Iswanto dan Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra entah siapa pengarangnya aku lupa mencatatnya. Kemudian tentang semiotik aku belajar kepada Prof. Djoko Pradopo dari makalahnya Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik. Selanjutnya intertekstual aku peroleh dari Dra. Rina Ralih S.S Pendekatan Intertekstual dalam Penelitian Sastra. Tentang resepsi dari Dr. Imran Abullad Resepsi Sastra: Teori dan Penerapannya. Tentang stilistika dari Saminto A. Sayuti Penelitian Stilistika: Beberapa Pengantar . Dan tentang dekonstruksi dari tulisan Dr. Faruk. H.T Dekontruksionisme dalam Sasrtra. Cukup pusing kucerna penjelasan mereka meski aku bisa merasakan bahwa dalam karang mereka, mereka berusaha dengan cermat menjelaskan sesuatunya dengan gampang dan berusaha tidak membebani pembaca dengan penjelasan yang berat dan rumit. Dan dengan seadanya, kutulis hasil bacaanku ini dengan maksud semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Strukturalisme
Apa itu strukturalisme? Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya sastra merupakan suatu karya yang otonom dan ia, dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama lain.
Ada tiga bentuk strukturalisme itu; strukturalisme klasik, strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme yang paling awal. Ia merupakan strukturalisme paten. Kajian yang hanya mengkaji struktur semata. Dalam kajian sastra, struktur macam ini, tidak peduli dengan hal lain kecuali yang berkaitan dengan struktur di dalam karya sastra. Tak ada hal lain yang perlu diteliti kecuali struktur karya sastra.
Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami dengan jelas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian antar struktur fakta sastra tersebut harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur tersebut. Misalnya, ketika peneliti membahas unsur tokoh dalam novel, maka ia harus tahu apa itu tokoh dalam novel dan fungsinya tersebut dengan baik dalam struktur bangunan sebuah novel.
Meski tampak mampu menggambarkan karya sastra secara objektif, namun di balik itu, ada dua hal yang menjadi kelemahan strukturalisme macam ini: pertama peneliti melepaskan sastra dari latar belakangnya dan kedua, ia mengasingkan sastra dari relevansinya dengan budaya. Bahwa sastra tidak serta lahir begitu saja, ia dilatar belakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.
Kemudian, dari kelemahan di atas itu, maka muncullah dua bentuk strukturalisme lain, yakni strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Yang pertama, strukturalisme genetik, adalah strukturalisme yang tidak hanya melibatkan struktur sastra melainkan juga kehidupan pengarang dan kondisi sosial masyarakat yang mendorong karya itu lahir. Arti genetik itu sendriri adalah “asal usul karya sastra” yang berati diri pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan. Tokoh strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman.
Menurut Goldman, ada dua macam karya sastra. Pertama, karya sastra pengarang utama, yakni karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Kedua, karya sastra pengarang kelas dua, yakni karya sastra yang sekedar raproduksi segi permukaan realitas sosial dan kesadaran kolektif. Nah, karya sastra yang cocok diteliti dengan kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang pertama, karena, menurut Goldman, di dalam karya tersebut terdapat apa yang disebut dengan “problematik hero” yaitu permasalahan-permasalahan yang berhadapan dengan kondisi sosial yang dari sana pengarang berusaha mendapatkan/menentukan suatu nilai tertentu yang diimplementasikannya kedalam karyanya. Mengetahui nilai tersebut berarti menangkap pandangan dunia sang sastrawan.
Adapun penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat dilakukan dengan dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial maupun kajian keseluruhan. Kemudian mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat tertentu. Di samping itu tidak luput juga untuk mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan oleh pengarang. Dan akhir dari kegiatan ini, adalah berhasil untuk mengungkap pandangan dunia pengarang tersebut.
Yang kedua, yang lahir dari akibat ketidakpuasan terhadap kajian strukturalisme klasik adalah strukturalisme dinamik. Maksud “dinamik” di sini mengacu pada dinamika yang diakibatkan pembacaan kreatif dan pembaca yang dibekali konsiliasi yang selalu berubah, ia dianggap sebagai homo significan, makhluk yang membaca dan menciptakan tanda.
Jadi dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah kajian strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya sastra dikaitkan dengan sistem tanda. Tanda mempunyai dua fungsi: otonom, yakni tidak menunjuk di luar dirinya dan informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan. Adapun penerapannya dapat dilakukan dengan pertama-tama menjelaskan struktur karya sastra yang diteliti. Kemudian menjelaskan kaitan pengarang, realitas, karya sastra dan pembaca.
Semiotik
Apa itu semiotik? Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang tanda. Ia mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda dengan menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Kajian semiotik ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik merupakan perkembangan atau lanjutan dari strukturalisme. Ya. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, maka tanda dan maknanya dan konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak akan dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Tanda, dalam semiotik, terdiri dari penanda dan petanda. Penanda (signifier) adalah bentuk formal yang menandai petanda. Sementara petanda (signified) adalah sesuatu yang ditandai penanda itu, yakni artinya. Menurut Pradopo, hubungan antara penanda dan petanda, terjadi dalam tiga bentuk. Yang pertama dalam bentuk ikon, yakni hubungan yang bersifat alamiah. Contoh gambar kuda menunjukkan hubungan antara tanda kuda dengan kuda yang sebenarnya (alami). Yang kedua dalam bentuk indeks, yakni hubungan kausalitas. Contoh asap menandai adanya api. Yang ketiga simbol, yakni tidak bersifat alamiah atau kausalitas melainkah hubungannya bersifat abitrer (semau-maunya). Contoh kata “ibu” atau gamabar “bualan bintang” maknanya tidak bisa tentukan begitu saja, ia ditentukan oleh sebauh konvensi.
Lalu bagaimana langkah kerja kajian semiotik ini? Caranya adalah dengan menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan sistem tanda tersebut dengan memakai hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Kemudian menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Dalam kajian semiotik, ada tiga metode yang dikenal. Pertama, konvensi ketaklangsungan ekspresi, yakni mengenali makna tanda dengan beberapa cara: menelaah pergantian arti (displacing of meaning) dengan memperhatikan, memperhatikan penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creativy of meaning). Kedua, intertekstual, yakni membandingkan, menjajarkan dan mengkontraskan karya sastra tersebut dengan teks lain dengan mencari hypogram atau landasan penciptaan yang menghubungkan karya tersebut dengan karya sastra lain sebelumnya yang dicerapnya. Untuk lebih jelasnya, nanti, kajian ini akan dibahas terpisah secara terperinci. Dan ketiga, dengan heruestik  dan hermeneutik, yakni (heruestik) membaca karya sastra berdasarkan struktur dan memperjelas artinya, bila perlu menyisipkan
kata atau sinonim kata-kata dengan ditaruh dalam tanda kurung karya tersebut, contohnya dalam puisi. Selanjutnya, (hermeneutik) yakni menafirkannya dengan berusaha memahami secara keseluruhan karya tersebut.
Intertekstua
Di atas aku sudah mengatakan bahwa aku akan menjelaskan kajian intertekstual secara terpisah. Nah, di sinilah tempatnya. Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Bahwa suatu teks penuh dengan makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu, suatu karangan yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
Pengertian “teks” tidak hanya yang tertulis saja atau tidak juga yang suara yang meluncur dari lisan, akan tetapi dalam pengertian umum, ia adalah dunia semesta ini, adat istiadat, kebudayaan film, drama dan lain-lain. Semua itu adalah teks juga. Hubungan antar teks, tidak dipandang melulu bahwa teks yang lahir akibat teks sebelumnya itu senantiasa meneladani teks sebelumnya, tetapi juga yang menyimpang dan memberontak.
Tokoh pertama dalam dunia filsafat yang memperkenalkan pendekatan ini adalah Jecques Derrida, kemudian diperdalam oleh Julia Kristeva. Menurut Julia Kristeva, setiap teks merupakan mozaik dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, setiap teks, mengambil hal-hal yang bagus lalu diolah kembali dalam sebuah karya baru atau karya baru itu ditulis setelah melihat, mencerapi, menyerap hal yang menarik baik sadar maupun tidak sadar. Dalam sastra, yang diserap dapat berupa konvensi sastra atau juga suatu gagasan. Nah, konvensi dan gagasan yang dicerap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hipogram-nya (yang menjadi landasan penciptaan) dengan teks yang baru itu. Teks baru yang menyerap itu dan yang mentrasformasikan hiporgam itu, dalam kajian intertekstual, disebut dengan “teks transformatif”.
Resepsi
Suatu karya sastra tidak akan sama pembacaan, pemahaman dan penelitiannya sepanjang masa dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Karya sastra sejak ia diterbitkan, selalu akan mendapat tanggapan dari pembacanya. Demikian asumsi dari para pengkaji sastra lewat pendekatan resepsi. Mereka dalam mengkaji karya sastra, titik tekan yang dicapat, adalah respon pembaca
Ada dua macam hubungan pembaca dengan karya sastra. Yang pertama disebut “horizon harapan”  (horizon of espextation), istilah ini dicetuskan oleh Hans Robert Jauss. “horizon harapan ini” dapat ditentukan dengan meneliti norma-norma umum yang terpancar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca. Atau dapat dikenali dari pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Bisa juga dari pertentangan antara fiksi dan kenyataan.  Yang kedua disebut “tempat-tempat terbuka” (balnk, opennes), istilah ini dicetuskan oleh Wolfgang Iser. Iser memperkenalkan Konsep Efek (wirkung) yakni cara sebuah karya mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Menurut Iser, dalam sastra terdapat kesenjangan antara teks dan pembaca dan disinilah, menurutnya, terjadi kekosongan atau “tempat terbuka” itu yang kemudian diisi oleh pembaca. Dari kekosongan yang telah diisi itulah terjadi respon antara pembaca sastra yang berbeda-beda.
Bagaimana cara menerapkan pendekatan ini? Pertama, dapat dilakukan secara eksperimental. Caranya, menetapkan objek-objek estetik karya sastra kemudian menetapkan perbedaan dan persamaan objek-objek estetik tersebut yang kemudian pada akhirnya menentukan relasi antar objek tersebut. Tujuannya adalah untuk mengungkap reasksi pembaca masa kini. Kedua, lewat kritik sastra. Bisa dilakukan dengan dua cara. Secara sinkronik, dalam suatu kurun waktu atau secara diakronik, dalam sepanjang sejarahnya. Perlu dicacat bahwa pengambialan simpel respon pembaca ini tidak bisa didasarkan pada tanggapan individual, melainkan dari yang mewakili norma pada masa waktu tertentu. Ketiga, secara intertekstual. Dengan cara meneliti fenomena resepsi pengarang terhadap yang pernah dibacanya dilibatkan dalam ciptaannya dengan menelaah terhadap hiporam-nya.
Stilistika
Secara bahasa, stilistika berarti pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Sedangkan dalam pengertiannya secara umum, dapat dikatakan, bahwa ia merupakan bagian dari ilmu linguistik yang memusatkan perhatiannya kepada variasi penggunaan bahasa. Fokus penelitian stilistika terhadap sastra adalah untuk menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra, yang mungkin juga dapat diarahkan untuk membahas isi.
Jika yang dibahas atilistika adalah penggunaan bahas atau yang disebut dengan gaya bahasa, tetapi, apa itu gaya bahasa? Menurut Enkvist, gaya berarti pembungkus yang membungkus pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya. Bisa juga berarti pilihan di antara pernyataan yang mungkin. Atau sekumpulan ciri pribadi. Atau bisa juga berarti penyimpangan norma atau kaidah. Atau hubungan antara sekumpulan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat.
Ada yang berpendapat bahwa gaya bahasa itu sejatinya datang dari kepribadian seseorang yang tidak bisa ditiru sehingga menjadikan antara satu orang pengarang dengan pengarang lainnya pasti berbeda, menunjukkan ciri khas. Ada pula yang berpendapat ia merupakan ciri sebuah teks yang dapat dicontoh. Ada juga yang menyatakan bahwa ia merupakan kesan yang dihubungkan oleh sebuah kelompok tertentu, lahir dari sebuah kultur.
Kajian stilstika di dalam sastra dapat dilakukan dengan menganalisis tentang sistem linguistik dan membedakan sistem satu dengan sistem lain dengan metode kontras, mangamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal dan berusaha menemukan estetisnya.
Sosiologi Sastra
Sastra menampilkan kehidupan sementara kehudupan itu sendiri, adalah kenyataan sosial. Sastra dapat menumbuhkan siakap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan institusi sosial yang ditentukan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian sastra menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi sastra..
Apa yang maksud dengan sosiologi sastra? Sosiologi sastra adalah kajian sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Yakni: seberapa jauhkah nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial mempengaruhi nilai sastra.
Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah karya sastra yang dikajinya ini memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap karya sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan keduanya? Sasaran kedua adalah konteks sosial dari  sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh mana karya itu mencerminkan sebuah masyarakat.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh peneliti bahwa sastra mungkin tidak dapat dikatakan cermin masyarakat saat ia ditulis, bahwa sifat “lain dari yang lain” sastrawan mempengaruhi pemilihan dan penampilan  fakta-fakta sosial dalam karyanya, bahwa genre sosial biasanya/sering merupakan sikap sosial seluruh masyarakat kelompok tertentu dan bukan sikap seluruh sosial masyarakat dan bahwa satra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dapat diterima sebagai cerminan masyarakat.
Dekonstruksi
Dekontruksi lahir dilatarbelakangi dari sikap seorang filsuf kontemporer bernama Jaques Derrida yang menolak logosentrisme. Logosentrisme adalah keinginan akan suatu pusat atau suatu “kehadiran” akan sabda Tuhan, yang mampu menjelaskan segalanya. Ia merupakan sebuah usaha yang terus-menerus untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan (decentering). Cara Derrida menjalankan misinya itu adalah dengan membangun teori semiotik yang disebut “gramatologi”, yaitu mempertanyakan kembali tanda dan tulisan dengan menolak konsep tanda Sassure penanda dan petanda, dengan konsep “jejak” (trace) yang misterius dan tidak terungkap (imprecitible), deferinsiasi dan tulisan
Dalam aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk membalikkan herarkis terhadap sistem oposisional yang sudah ada. Kemudian melakukan oposisi-oposisi yang sudah klasik, pemelesetan besar-besaran terhadap sistem itu secara keseluruhan. Caranya adalah dengan menentukan oposisi-oposisi tertentu merupakan pemaksaan ideologi  metafisik dengan satu membawa preoposisi-preoposisi dan peranannya dalam nilai metafisika. Menunjukkan bagaimana sistem itu dihancurkan dalam teks yang mengungkap dan bersandar kepadanya. Mempertanyakan oposisi dengan  memakainya dalam argumen sendiri dan menerima kembali dengan suatu pembalikan yang memberinya status akibat dan akibat yang berbeda. Akan tetapi perlu dicatatat bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori. Ia anti teori dan yang dapat kita ambil adalah hanya semangatnya saja.
***
Demikian penjelasanku tentang beberapa pendekatan penelitian sastra dari hasil bacaan beberapa tulisan. Barangkali, bagimu, wahai pembaca, apa yang kutulis ini membingungkan. Ya, begitulah. Perasaanku juga sama seperti itu. Bahwa tulisanku ini kacau. Tapi yasudahlah. Apapun jadinya, yang kutulis ini adalah upayaku untuk mengingat makna. Di samping juga sebagai pengukur seberapa jauh aku memahami sebuah tulisan.
BACA SELENGKAPNYA - BEBERAPA PENDEKATAN TERHADAP PENELITIAN KARYA SASTRA

Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Alat Analisa Novel

1. Sosiologi Sastra
Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).

2. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
a. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979: 4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c) mayarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b) sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

3. Sastra dan Masyarakat
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003: 63), karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya.
Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
1. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
2. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
3. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
4. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006: 322-333).
Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembaca, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.
BACA SELENGKAPNYA - Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Alat Analisa Novel