Welcome

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Sastra Daerah dan Folklor

Minggu, 07 November 2010


SASTRA DAERAH DAN KAITANNYA FOLKLOR
Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara sastra daerah dengan ilmu-ilmu lainnya, terlebih dahulu lebih mendalam ilmu-ilmu yang diperkirakan ada kaitan dengan sastra daerah.

I. FOLKLOR
A. Definisi Folklor
Kata folklor adalah pengindonesian kata Inggris Folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk yang sama artinya dengan kata kolektif (colecctivity). Menurut Alan Dundes (dalam Danadjaja.1984) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni suatu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-menurun. Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jadi, definisi folklor secara keseluruhan: folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Definisi folklor yang dibuat oleh Danandjadja di atas merupakan perluasan dari definisi Jan Harold Brunvand (lihat Brunvand 1968:5). Definisi Brunvand berbunyi: “Folklore may be definied as those materials in culture that circulate traditionally among members of any group in defferent version, whether in oral or by means of customary example”.

B. Ciri-Ciri Folklor
Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya, kita harus mengetahui dahulu ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya, yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. it is oral;
2. it is tradisional;
3. it is exist in different versions;
4. it is usually anounymous
5. it tends to become formurized
Jadi, folklor itu disebakan secara lisan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke satu generasi, yang kadang-kadang penuturannya itu disertai dengan perbuatan (misalnya, mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalang)
Oleh sifatnya yang tradisional, maka folklor itu disebarkan di dalam bentuknya yang relatif tetap, atau di dalam bentuk baku di dalam kelompok masyarakat tertentu. Dan oleh karena folklor itu disebarkan secara lisan, maka makin jauh dari sumbernya folkor ini makin banyak mengalami perubahan, walaupun intinya tetap.
Di dalam masyarakat yang bersifat komunal, pencipta folklor itu tidak diketahui. Ambilah misalnya tembang ilir-ilir dalam sastra lisan Jawa. Tembang ini sangat populer di masyarakat tetapi tembang ini tidak diketahui siapa penciptanya, sehingga orang bebas untuk menafsirkan isinya.
Yang terakhir adalah, folklor itu mempunyai bentuk klise. Di dalam bentuk cerita rakyat misalnya, ada perbandingan sebagai berikut: “matanya bagai bintang timur” (Melayu/Indonesia); ‘ayunan tangannya waktu berjalan bagaikan daun kelapa lepas dari batangnya’. Penyimpangan dari bentuk tetap ini dianggap menyalahi aturan yang ada.
Selain kelima ciri folklor yang dikemukakan oleh Brunvard di atas, ada beberapa lagi ciri folklor yang dikemukakan oleh Danandjaja (1991:3-4), yakni:
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
2. Folklor bersifat tradsional.
3. Foklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini dikarenakan proses penyebarannya melalui tuturan (lisan) sehingga resiko interpolasinya lebih tinggi.
4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
5. Folklor biasanya memiliki bentuk yang berumus dan berpola.
6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
9. Kolektif umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar dan terlalu spontan.

C. Konsep folklor
Konsep folklor itu, sebenarnya mencakup beberapa hal, yakni:
1. Sastra lisan
2. sastra tertulis penduduk daerah pedesaan dan masyarakat kecil
3. ekspresi budaya yang mencakup:
  • teknologi budaya;
  • pengetahuan rakyat;
  • kesenian dan rekreasi (arsitektur tradisional, kerajinan rakyat, seni pandai gamelan, pengetahuan obat-obatan tradisional, ilmu firasat, numerology atau ilmu petungan, seni ukir, tari-tarian dan permainan)

D. Beberapa Macam-Macam Folklor
1. Folkor lisan
Beberapa contoh folklor lisan yang ada di Indonesia yakni (1) bahasa rakyat, (2) ungkapan tradisional, (3) pertanyaan tradisional, (4)sajak dan puisi rakyat, (5) cerita prosa rakyat; dan (6) nyanyian rakyat.
1) Bahasa Rakyat
Bentuk Folklor Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat (dialect) bahasa-bahasa nusantara, misalnya logat bahasa Melayu Kalimantan Barat yang terbagi menjadi beberapa macam logat. Bentuk lain dari bahasa rakyat adalah slang. Menurut kamus Webster’s New World dictionary of the American Langguage (1959), asal slang adalah kosa kata dan idiom para penjahat gelandangan atau kolektif khusus. Maksud diciptakan bahasa slang ini untuk menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar.
Bahasa slang ini di Indonesia dikenal dalam berbagai bentuk, yakni (a) cant (b) argot, (c) Shop Talk (d) Colloquial (d) Sirkumlokusi (e) Gelar kebangsawanan atau jabatan dalam keluarga (Danandjaja, 1984:22)
1) Cant
Cant adalah istilah-istilah digunakan oleh para pencopet di kota-kota besar untuk memberikan isyarat-isyarat kepada temannya. Misalnya istilah jengkol dan rumput. Jengkol yang sebenarnya berarti buah yang semacam dengan Petai, cuma lebih besar bentuknya. Bagi para pencopet jengkol diartikan sebagai kaca mata, karena bentuk Jengkol mirip dengan kaca mata. Istilah ini digunakan sewaktu seorang pencopet atau penjambret menyuruh kawannya untuk merampas kaca mata orang yang hendak dijadikan korbannya.
2) Argot
Argot sering digunakan sebagai bahasa rahasia para homoseks (gay) laki-laki di Jakarta yang mencari nafkah sebagai penata rambur, perancang pakaian, peragawan dan sebagainya. Cara mereka mengubah bahasa mereka adalah dengan cara menyisipkan suku kata in di dalam setiap isitlah Indonesia atau daerah yang mereka gunakan. Misalnya istilah banci setelah disisipi dengan suku kata in menjadi binancini, bule menjadi binunline, dan cakep menjadi cinakinep.
3) Shop talk
Shop talk atau bahasa pedagang umumnya digunakan para pedagang di Jakarta untuk menyatakan istilah harga. Istilah ini dipinjam dari bahsa Cina suku bangsa Hokian, seperti jigo (dua puluh lima), cepe (seratus), seceng (seribu), dan cetiau (satu juta).
4) Colloquial
Colloquial yakni bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional, seperti bahasa para mahasiswa Jakarta yang pada dasarnya adalah bahasa orang Betawi yang dibubuhi dengan istilah khusus, seperti ajegile (gila), menyala bob (sangat menarik).
5) Gelar kebangsawanan
Gelar kebangswnan atau yang sering disebut jabatan tradisional dalam silsilah keluarga masih digunakan sampai sekarang. sebagai contoh, dalam adat Jawa gelar kebangsawanan pria di Jawa Tengah, dengan urutan dari paling rendah sampai paling tinggi; mas, raden, raden mas,raden panji, raden tumenggung, raden ngabehi, raden mas panji, dan raden mas aria; dan untuk wanita adalah; raden roro, raden ejeng, dan raden ayu (Berg, 1902, dan Winter, 1854 dalam Danandjaja. 1982)
Dari beberapa macam bahasa rakyat yang diungkapkan di atas, bahasa rakyat memiliki beberapa fungsi. Adapun fungsi bahasa rakyat sebagai berikut:
a) Untuk memberi serta memperkokoh identitas folknya (slang, cant, shop talk, argot dan sebagainya)
b) Untuk melindungi folk pemilik folklor itu dari ancaman kolektif lain atau penguasa.
c) Untuk memperkokoh kedudukan folknya pada jenjang pelapisan masyarakat.
d) Untuk memperkokoh kepercayaan rakyat dari folknya

2) Ungkapan Tradisional
Menurut Alan Dundes peribahasa atau ungkapan tradsional sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer Taylor peribahasa tidak mungkin untuk diberi definisi. Sedangkan Cervantes mendifinsikannya sebagi “kalimat pendekyang disarikan dari pengalaman yang panjang.”, sedangkan Bertrand Russel menganggapnya sebagai “kebijakan orang banyak yang merupakan kecerdasan seorang” (lihat Dundes, 1968).
Walaupun definisi secara implisit dan ilmiah tidak dapat dikemukakan secara jelas, Brunvard (1968:38) menjelaskan ungkapan tadsional mem[unyai tiga sifat hakiki, yakni (a) Peribahasa harus berupa satukalima ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradsional saja, misalnya “astaga” atau “ajegile’; (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar, misalnya “seperti Cina karam” adalah peribaha, tetapi “seperti Cina ribut” bukan peribahasa; (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yagn dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olah raga dan sebagainya.

3) Pertanyaan Tradisional
Pertanyaan tradisional di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki. Teka-teki adalah pertanyaan tradisional dan mempunyai jawaban tradisional pula. Menurut Alan Dundes dan Robert A. Georges teka teki adalah ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih pelukisan (descriptive), sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabannya (referent) harus diterka (George & Dundes, 1963:113).
Menurut Alan Dundes, teka-teki dapat digolongkan ke dalam dua kategori umum, ykani; (a) Teka-teki yang tidak bertentangan (nonoppositional riddles), dan (b) teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles). Teka-teki yang tidak bertentangan bersifat harfiah, jawabannya dan pertanyaannya adalah identik. Misalnya; “Apa yang Hidup di sungai?” jawabannya adalah; “Ikan”. Sedangkan teka-teki yang bertentangan bersifat kiasan. Sebagai contoh; “Ular melingkar sambil merokok, apakah itu?” jawabannya “Racun nyamuk yang sedang menyala”.

4) Sajak dan Puisi Rakyat
Kekhasan dari genre folklor ini adalah bahwa kalimatnya tidak berbentuk bebas (free phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama (Danandjaja, 1984:46).
Suku-suku bangsa di Indonesia memliki banyak sekali puisi rakyat yang masih belum dikumpulkan apalagi diterbitkan. Suku bangsa Jawa, misalnya, memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan. Puisi rakyat itu dapat dikllasifikasikan ke dalam golongan sinom, pangkur, dan durma (Renneft,1983). Menurut K.A.H. Hidding (1953), pada suku bangsa Sunda ada semacam puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran, yang dalam bahasa daerahnya disebut paparikan. Paparikan Sunda, menurut bentuknya dapat dibandingkan dengan paparikan jawa dan pantun Melayu.

5) Cerita Prosa Rakyat
Menurut Wlliam R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu: (a) mite (myth), (b) legenda (legend), dan (c) dongeng (folktale) (Bascom, 1965:4).
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi, gejala percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya (Bascom, 1965b: 4-5)
Sedangakan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legend ditokohi manusia, walaupun ada kalanya memiliki sifat-sifat yang luar biasa, dan sering kali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya di dunia seperti yang kita kenal sekarang, karena terjadinya belum terlalu lampau. Sebaliknya, dongeng adalah prosa rakyat tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Bascom, 1965b:3-20)

6) Nyanyian Rakyat (Folksongs)
Menurut Jan Harold Brunvard, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folkor yang terdiri dari kata-kata atau lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, terbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brunvard, 1968:130)
Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk folkor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbaul dalam berbagai macam media. Seringkali nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh pengubah lagu profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Beberapa nyanyian rakyat yang masih eksis hingga sekarang yakni, nina bobo, cicak-cicak di dinding, pok ame-ame, dan sebagainya.

2. Folklor setengah lisan
Yang termasuk folklor setengah lisan adalah bahan folklor berupa:
a) Drama rakyat (ketoprak, ludrug, lenong, wayang orang, wayang kulit, topeng, dan lain-lain)
b) Tari (serimpi, kuda lumping, kupu-kupu, serampang duabelas, dan lain-lain)
c) Kepercayaan dan takhayul (gugun tuhon)
d) Upacara-upacara (ulang tahun, kematian, perkawinan, sunatan, pertungangan, dan lain-lain)
e) Peemainan rakyat dan hiburan rakyat (misalnya: macanan, gobak sodor, sundamanda, dan lain-lain)
f) Adat kebiasaan.
g) Pesta-pesta rakyat (wetoran, sekaten, dan lain-lain)



3. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini dibagi dua, yakni: (a) yang berupa material; dan (b) yang berupa bukan material. Yang termasuk bagian yang berupa material adalah mainan (boneka, makanan dan minuman, peralatan dan senjata, alat-alat music, pakaian dan perhiasan, obat-obatan, seni kerajinan tangan dan arsitektur rakyart (bentuk rumah, misalnya). Sedangakan yang termasuk ke dalam bagian yang berupa bukan material adalah bahan-bahan folklor yang berupa: musik (gamelan Sunda, Bali, Jawa), dan bahasa isyarat (mengangguk tanda setuju; mengggelengkan kepala berarti tidak setuju, dan lain-lain).

II. TRADISI LISAN
A. Pengertian
Menurut keputusan atau rumusan UNESCO, yang dinamakan tradisi lisan itu adalah “those traditions which have been transmitted in time and space by the word or art”, yang artinya kurang lebih “tradisi yang ditransmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan (advisory Committee, 1981).
Di dalam hubungan penulisan sejarah, yang dimaksud dengan tradisi lisan secara umum adalah “segala macam keterangan lisan dalam bentuk laporan tentang sesuatu hal yang terjadi pada masa lampau” (Vasina, 1973:19).

B. Jenis-jenis tradisi lisan
Berdasarkan dari definisi di atas, maka tradisi lisan mencakup ke dalam berbagai hal sebagai berikut:
1. yang berupa kesusasteraan lisan;
2. yang berupa teknologi tradisional;
3. yang berupa pegetahuan folk: di luar pusat-puat istana dan kota metropolitan.
4. yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar.
5. yang berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; dan
6. yang berupa hukum adat.

III. SASTRA LISAN
A. Pengertian
Istilah sastra lisan di dalam bahasa Indonesia meupakan terjemahan bahasa Inggris Oral literature. Sastra lisan adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yagn disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (Hutomo, 1991:1).

B. Ciri-ciri
Selain pengertian di atas, hutomo juga menjelaskan ciri-ciri sastra lisan. adapun ciri-ciri sastra lisan adalah sebagai berikut:
1. Penyebarannya melalui mulut; maksudnya ekpresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.
2. Lahir di dalam masyarkat yang masih bercorak desa, masyarkat di luar kota, atau masyarakat yagn belum mengenal huruf.
3. Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial).
4. tidak diketagui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat.
5. Bersifat puitis, teratur, dan berulang-ulang; maksudnya (a) untuk menguatkan ingatan, (b) untuk menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak cepar berubah.
6. tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih memetingkan aspek khayalan/ fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya.
7. terdiri dari berbagai versi.
8. bahasa menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.

C. Genre Dalam Sastra Lisan
1. Sastra lisan murni dan Sastra lisan setengah lisan
Sastra lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar diturunkan secara lisan. sastra ini pada umumnya berbentuk prosa murni (dongeng, cerita hiburan dan lain-lain) dan ada juga yang berbentuk prosa liris (penyampaiannya dengan dilagukan/diiramakan). Jenis lain dari sastra lisan murni adalah bentuk puisi. misalanya dalam bentuk pantun, syair dan parikan. Sedangkan yang dimaksud sastra lisan setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. misalnya wayang orang, wayang kulit, ketoprak, drama rakyat dan sebagainya (Hutomo, 1991:60-61)

D. Fungsi sastra lisan
Hutomo (1991:69-74) menjelaskan ada delapan fungsi sastra lisan yang dapat di lihat dalam kehidupan masyarakat, yakni:
1. Sebagai system proyeksi (perkiraan tentang keadaan di masa yang akan datang ). Sebagai contoh, cerita Sangkuriang yang menceritakan angan-angan terpendam dari seorang anak laki-laki untuk bersenggama dengan ibu kandungnya.
2. Sebagai pengesah kebudayaan. Misalnya, cerita cicak yang mengkhianati Nabi Muhammad. Maksudnya cerita ini mengandung maksud untuk mengesahkan pembunuhan cicak.
3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial. Misalnya pada pribahasa-pribahasa tua. “pagar makan tanaman”.
4. Sebagai alat pendidikan anak. Dalam fungsi ini, cerita rakyat Si Kancil sering digunakan sebagai media pendidikan untuk anak-anak.
5. Untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain. Hal ini tampak dalam karya sastra lisan teka-teki.
6. Untuk memberikan seorang suatu jalan yang diberikan oleh masyarakat agar dia dapat mencela orang lain. Hal ini dapat di lihat dalam pantun.
7. sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan
8. Sebagai hiburan.

E. Penyebaran sastra lisan
Perpindahan dan penyebaran sastra lisan dapat bersifat horizontal dan vertical. Adapun yang dimaksud penyebaran secara horizontal yakni penyebarannya bias dilakukan dari tetangga ke tetangga, dari kampong ke kampong, dari kota ke kota, dan sebagainya. Sedangkan penyebaran vertikal, yakni penyebaran yang dilakukan masih dalam satu lingkungan keluarga, bapak ke anak, dari kakek ke cucu, dari guru ke murid, dan lain-lain.

PENUTUP

I. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab II, dapat kita tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Jika diurutkan, kaitan antara sastra daerah dengan ilmu lainnya dapat di lihat dalam bagan sebagai berikut:

Folklor Sastra daerah Tradisi Lisan Sastra lisan
Dari bagan di atas, jelas yang menduduki peringkat teratas adalah folklor, kemudian sastra daerah, kemudian tradisi lisan dan sastra lisan.
2. Di lihat dari ciri dan fungsi dari keempat disiplin ilmu di atas, tampak jelas bahwa tidak ada perbedaan yang jauh bila ditinjau dari segi proses penyebarannya, semuanya disebarkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Yang membedakannya hanya dalam proses pengklasifikasiannya saja. Terutama antara tradisi lisan dan sastra lisan yang pada hakikatnya hampir sama.
3. Pada saat pengklasifikasian, hendaknya peniliti memerhatikan secara seksama, termasuk ke dalam genre apa objek yang akan ditelitinya. Karena setiap sastra daerah maupun folklor memiliki ciri-cirinya masing-masing. Terutama bila ditinjau dari aspek bentuk dan isi objeknya.
4. Setiap genre sastra lisan memilik kegunaan tersendiri bagi pemiliknya dalam kehidupan sehari-hari.

II. Saran
Adapun saran-saran yang ingin kami sampaikan adalah sebagai berikut:
1. Sastra daerah memliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya kita sebagai generasi muda melestarikan sastra daerah yang mendeskripsikan kehidupan nenek moyang di masa lampau.
2. Di Indonesia sangat beraneka ragam satra daerah yang belum terjamah dan terdokumentasi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hal ini harus dilakukan untuk keaslian dan hilang di telan masa.

Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Depdikbub. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hutomo, suripan sadi. 1991. Mutiara yang terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan.. Surabaya: HISKI.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rustammiri. 2006. Analisis Struktur Cerita Pangeran Baporong. Pontianak: FKIP.

BACA SELENGKAPNYA - Sastra Daerah dan Folklor