Welcome

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Paragraf induktif, deduktif dan Campuran

Senin, 17 Oktober 2011

Pengertian Paragraf Induktif
Teks induktif dikembangkan dari sesuatu yang bersifat khusus, lebih spesifik, menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum, lebih luas. Akan tetapi, kita harus hati-hati dalam menarik kesimpulan menggunakan pola induktif karena kesimpulan umum yang diambil belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, agar kesimpulan yang diambil sesuai dengan kenyataan, data, fakta, bukti, referensi, dan keterangan lain yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan haruslah lengkap dan akurat.
Contoh :
Jangan pernah belajar “dadakan”. Artinya belajar sehari sebelum ujian. Belajarlah muai dari sekarang. Belajar akan efektif kalau belajar kumpulan soal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjawab soal-soal di buku kumpulan soal. Mencocokannya, lalu menilainya. Barulah materi yang tidak dikuasai dicari di buku. Itulah beberapa tips belajar menjelang Ujian Akhir Nasional
Kalimat utama dari paragraph adalah kalimat yang di garis bawahi, dan kalimat itu berada diakhir paragraf sesuai dengan ciri-ciri dari paragraph induktif.

  • Mengenal Ciri Paragraf Induktif
Paragraf merupakan satuan pikiran atau ide yang terdiri atas beberapa kalimat. Paragraf itu biasanya berisi satu ide pokok yang merupakan bagian dari ide yang lebih besar (ide yang lebih besar biasanya disebut tema). Satu ide pokok itu dikembangkan dan dituangkan dalam beberapa kalimat. Kalimat-kalimat itu tetap bertumpu pada ide pokoknya. Dalam mengembangkan paragraf tidak boleh menggunakan kalimat yang menyimpang dari ide sentralnya itu, sebab penyimpangan berarti mengurangi keutuhan paragraf. Dalam sebuah karangan, perpindahan paragraf satu ke paragraf lain ditandai oleh bergantinya ide pokok.
Paragraf induktif disusun dengan cara menata ide-ide khusus dan diikuti dengan ide umum.
Ide-ide khusus seperti contoh, ilustrasi, perincian (disebut penunjang atau pendukung) ditampilkan pada bagian awal paragraf dan kemudian disimpulkan denagn ide yang lebih umum.ide yang lebih umum itu biasanya berupa kalimat kesimpulan (disebut kalimat topik) dan kadang-kadang diikuti oleh suatu pernyataan pembenaran.
  • Pengertian paragraf Deduktif
Paragraf deduktif adalah contoh suatu paragraf yang dibentuk dari suatu masalah yang bersifat umum, lebih luas. Setelah itu ditarik kesimpulan menjadi suatu masalah yang bersifat khusus atau lebih spesifik. Atau juga dapat diartikan, suatu paragraf yang kalimat utamanya berada di depan paragraf kemudian diikuti oleh kalimat penjelas.
Contoh :
Beberapa tips belajar menjelang Ujian Akhir Nasional. Jangan pernah belajar “dadakan”. Artinya belajar sehari sebelum ujian. Belajarlah muai dari sekarang. Belajar akan efektif kalau belajar kumpulan soal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjawab soal-soal di buku kumpulan soal. Mencocokannya, lalu menilainya. Barulah materi yang tidak dikuasai dicari di buku.
Kalimat utama dari paragraph adalah kalimat yang di garis bawahi, dan kalimat itu berada depan paragraf sesuai dengan ciri-ciri dari paragraph deduktif.
  • Paragraf induktif deduktif
Paragraf induktif deduktif adalah suatu paragraf yang kalimat utamanya berada di depan dan diakhir kalimat
Contoh :
Beberapa tips belajar menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN). Jangan pernah belajar “dadakan”. Artinya belajar sehari sebelum ujian. Belajarlah muai dari sekarang. Belajar akan efektif kalau belajar kumpulan soal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjawab soal-soal di buku kumpulan soal. Mencocokannya, lalu menilainya. Barulah materi yang tidak dikuasai dicari di buku. Oleh karena itu, maka sebaiknya para guru memberitahukan tips belajar menjelang UAN.
Kalimat utama pada paragraf ini yaitu terletak pada kalimat yang digaris bawahi, kalimat tersebut terdapat didepan dan diakhir paragraf.
BACA SELENGKAPNYA - Paragraf induktif, deduktif dan Campuran

MENEMUKAN GAGASAN INTI ATAU IDE POKOK PARAGRAF

Selasa, 09 Agustus 2011

Menemukan ide pokok paragraf merupakan sutau kewajiban bagi pembaca ketika mencoba menambah wawasan pengetahuannya melalui bacaan. Keterampilan menemukan ide pokok bisa dilatih dan dikembangkan secara teratur dan berkesinambungan sehingga menangkap inti bacaan atau informasi yang diterimanya menjadi tepat, akurat, dan cermat.

Inti atau ide pokok paragraf merupakan gagasan yang secara struktural maknawi membawahkan gagasan yang lain. Oleh sebab itu, inti atau ide pokok merupakan suatu konsep yang secara ordinatif mencakup konsep gagasan lain (menyubordinasi gagasan lain). Gagasan-gagasan lain yang terwujud dalam kalimat-kalimat penjelas atau pendukung gagasan pokok itu berantai-berkesinambungan guna membentuk kesatuan paragraf.

Menemukan inti atau ide pokok bisa disiasati dengan mengenal tipe paragraf, berdasarkan pola penalaran dan pola pengembangannya. Bila dilihat dari segi pola penalarannya, paragraf bisa berbentuk tipe deduktif dan induktif. Lain halnya bila kita lihat dari pola pengembangannya, tipe paragraf dapat berupa paragraf definisi, paragraf contoh, paragraf sebab-akibat(kausalitas), paragraf perbandingan (persamaan-perbedaan), paragraf pertentangan, paragraf kronologi, dan sebagainya.

Pola penalaran deduktif merupakan cara berpikir yang dimulai dengan rumusan pernyataan umum. Biasanya ditempatkan di awal paragraf, sedangkan kalimat-kalimat berikutnya merupakan kalimat-kalimat penjelas. Pola penalaran induktif merupakan pola berpikir dengan menggunakan peristiwa atau hal-hal khusus untuk menarik kesimpulan umum. Hal-hal atau peristiwa khusus yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa yang sejenis, seklasifikasi, paralel, dan digunakan sebagai data yang memperkuat gagasan untuk menarik kesimpulan. Secara logis, berdasarkan beberapa, banyak, atau semua data, pembaca digiring ke suatu kesimpulan umum atas peristiwa atau hal-hal tersebut. Pola penyimpulan bisa secara induktif, generalisasi, bahkan analogi.

Bila kita memenukan gagasan pokok berdasarkan pola penalarannya, ide pokok terdapat di kalimat awal atau di akhir paragraf. Perlu diketahui bahwa kalimat awal atau akhir paragraf bisa saja merupakan kalimat majemuk bertingkat, bahkan mungkin kompleks. Namun, inti gagasan terdapat pada induk kalimatnya, yakni unsur S-P (O)/(Pel.), sedangkan berdasarkan pola pengembangannya, ide pokok paragraf biasanya berada di awal paragraf.

Yang sering membuat pembaca bingung menentukan ide pokok adalah bila paragraf yang dibacanya bertipe naratif atau deskriptif. Ide pokok paragraf biasanya terjabarkan secara merata berkesinambungan dalam semua kalimat paragraf tersebut. Oleh sebab itu, pembaca harus pandai menemukan kata-kata kunci (key words) paragraf itu. Berdasarkan kata-kata kunci itulah kita dapat menentukan kalimat ide pokok.

Berbagai bentuk evaluasi, mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi, tipe soal menentukan ide pokok atau inti gagasan pasti kita temukan. Hal itu bisa kita temukan pula dalam ulangan harian, ulangan blok, ulangan umum, ulangan semester, ulangan kenaikan, bahkan ujian nasional serta tes ke perguruan tinggi. Oleh karena iu, kepandaian menemukan ide pokok bisa ditingkatkan dan dilatih dengan cara membiasakan dan meningkatkan terus keamampuan membaca. Berlatih dan terus berlatih demi kemajuan kita semua.

Sumber bacaan untuk berlatih kita dapat menemukannya dalam berbagai bentuk dan corak, asalkan bersifat edukatif, intelektual, dan rasional. Kemajuan teknologi informasi dapat kita manfaatkan untuk hal ini sejalan dengan pengembangan wawasan kita sendiri. Membaca merupakan hal yang signifikan dalam kehidupan kita manakala kita menjadi individu masyarakat yang semakin meningkat taraf kualitas pribadi dan peradabannya. Selamat berlatih.
BACA SELENGKAPNYA - MENEMUKAN GAGASAN INTI ATAU IDE POKOK PARAGRAF

BEBERAPA PENDEKATAN TERHADAP PENELITIAN KARYA SASTRA

Kamis, 21 April 2011

Agar mendapat pemaknaan yang mendalam dan kaya saat menikmati sebuah karya sastra maka aku mencoba mencari buku yang berkaitan dengan metode penelitian sastra. Dan alhamdulillah, di perpustakaan kotaku, kutemukan Metodololgi Penelitian Sastra, sebuah buku yang berisi kumpulan makalah yang ditulis oleh para pakar sastra berkaitan tentang prosedur umum kegiatan penelitian sastra, prosedur khusus penelitian sastra, dan berbagai alrternatif pendekatan sastra dengan dilengkapi contoh-contoh konkretnya. Dan terhadap buku itu, tidak semuanya kubaca, hanya yang kuperlukan saja, sesuai kebutuhanku, yakni beberapa tentang pendekatan penelitian sastra.
Dalam buku ini, aku belajar tujuh macam pendekatan sastra: strukturalisme, semiotik, intertekstual, resepsi, stilistika, sosiologi sastra dan dekonstrusi. Tentang strukturalisme aku belajar dari tiga tulisan mereka:  Analisis Struktural: Salah Satu Pendekatan dalam Penelitian Sastra makalah Drs. Tirto Suwondo, Penelitian Sastra dalam Persepektif Genetik Dr. Iswanto dan Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra entah siapa pengarangnya aku lupa mencatatnya. Kemudian tentang semiotik aku belajar kepada Prof. Djoko Pradopo dari makalahnya Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik. Selanjutnya intertekstual aku peroleh dari Dra. Rina Ralih S.S Pendekatan Intertekstual dalam Penelitian Sastra. Tentang resepsi dari Dr. Imran Abullad Resepsi Sastra: Teori dan Penerapannya. Tentang stilistika dari Saminto A. Sayuti Penelitian Stilistika: Beberapa Pengantar . Dan tentang dekonstruksi dari tulisan Dr. Faruk. H.T Dekontruksionisme dalam Sasrtra. Cukup pusing kucerna penjelasan mereka meski aku bisa merasakan bahwa dalam karang mereka, mereka berusaha dengan cermat menjelaskan sesuatunya dengan gampang dan berusaha tidak membebani pembaca dengan penjelasan yang berat dan rumit. Dan dengan seadanya, kutulis hasil bacaanku ini dengan maksud semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Strukturalisme
Apa itu strukturalisme? Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya sastra merupakan suatu karya yang otonom dan ia, dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama lain.
Ada tiga bentuk strukturalisme itu; strukturalisme klasik, strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme yang paling awal. Ia merupakan strukturalisme paten. Kajian yang hanya mengkaji struktur semata. Dalam kajian sastra, struktur macam ini, tidak peduli dengan hal lain kecuali yang berkaitan dengan struktur di dalam karya sastra. Tak ada hal lain yang perlu diteliti kecuali struktur karya sastra.
Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami dengan jelas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian antar struktur fakta sastra tersebut harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur tersebut. Misalnya, ketika peneliti membahas unsur tokoh dalam novel, maka ia harus tahu apa itu tokoh dalam novel dan fungsinya tersebut dengan baik dalam struktur bangunan sebuah novel.
Meski tampak mampu menggambarkan karya sastra secara objektif, namun di balik itu, ada dua hal yang menjadi kelemahan strukturalisme macam ini: pertama peneliti melepaskan sastra dari latar belakangnya dan kedua, ia mengasingkan sastra dari relevansinya dengan budaya. Bahwa sastra tidak serta lahir begitu saja, ia dilatar belakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.
Kemudian, dari kelemahan di atas itu, maka muncullah dua bentuk strukturalisme lain, yakni strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Yang pertama, strukturalisme genetik, adalah strukturalisme yang tidak hanya melibatkan struktur sastra melainkan juga kehidupan pengarang dan kondisi sosial masyarakat yang mendorong karya itu lahir. Arti genetik itu sendriri adalah “asal usul karya sastra” yang berati diri pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan. Tokoh strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman.
Menurut Goldman, ada dua macam karya sastra. Pertama, karya sastra pengarang utama, yakni karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Kedua, karya sastra pengarang kelas dua, yakni karya sastra yang sekedar raproduksi segi permukaan realitas sosial dan kesadaran kolektif. Nah, karya sastra yang cocok diteliti dengan kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang pertama, karena, menurut Goldman, di dalam karya tersebut terdapat apa yang disebut dengan “problematik hero” yaitu permasalahan-permasalahan yang berhadapan dengan kondisi sosial yang dari sana pengarang berusaha mendapatkan/menentukan suatu nilai tertentu yang diimplementasikannya kedalam karyanya. Mengetahui nilai tersebut berarti menangkap pandangan dunia sang sastrawan.
Adapun penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat dilakukan dengan dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial maupun kajian keseluruhan. Kemudian mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat tertentu. Di samping itu tidak luput juga untuk mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan oleh pengarang. Dan akhir dari kegiatan ini, adalah berhasil untuk mengungkap pandangan dunia pengarang tersebut.
Yang kedua, yang lahir dari akibat ketidakpuasan terhadap kajian strukturalisme klasik adalah strukturalisme dinamik. Maksud “dinamik” di sini mengacu pada dinamika yang diakibatkan pembacaan kreatif dan pembaca yang dibekali konsiliasi yang selalu berubah, ia dianggap sebagai homo significan, makhluk yang membaca dan menciptakan tanda.
Jadi dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah kajian strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya sastra dikaitkan dengan sistem tanda. Tanda mempunyai dua fungsi: otonom, yakni tidak menunjuk di luar dirinya dan informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan. Adapun penerapannya dapat dilakukan dengan pertama-tama menjelaskan struktur karya sastra yang diteliti. Kemudian menjelaskan kaitan pengarang, realitas, karya sastra dan pembaca.
Semiotik
Apa itu semiotik? Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang tanda. Ia mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda dengan menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Kajian semiotik ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik merupakan perkembangan atau lanjutan dari strukturalisme. Ya. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, maka tanda dan maknanya dan konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak akan dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Tanda, dalam semiotik, terdiri dari penanda dan petanda. Penanda (signifier) adalah bentuk formal yang menandai petanda. Sementara petanda (signified) adalah sesuatu yang ditandai penanda itu, yakni artinya. Menurut Pradopo, hubungan antara penanda dan petanda, terjadi dalam tiga bentuk. Yang pertama dalam bentuk ikon, yakni hubungan yang bersifat alamiah. Contoh gambar kuda menunjukkan hubungan antara tanda kuda dengan kuda yang sebenarnya (alami). Yang kedua dalam bentuk indeks, yakni hubungan kausalitas. Contoh asap menandai adanya api. Yang ketiga simbol, yakni tidak bersifat alamiah atau kausalitas melainkah hubungannya bersifat abitrer (semau-maunya). Contoh kata “ibu” atau gamabar “bualan bintang” maknanya tidak bisa tentukan begitu saja, ia ditentukan oleh sebauh konvensi.
Lalu bagaimana langkah kerja kajian semiotik ini? Caranya adalah dengan menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan sistem tanda tersebut dengan memakai hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Kemudian menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Dalam kajian semiotik, ada tiga metode yang dikenal. Pertama, konvensi ketaklangsungan ekspresi, yakni mengenali makna tanda dengan beberapa cara: menelaah pergantian arti (displacing of meaning) dengan memperhatikan, memperhatikan penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creativy of meaning). Kedua, intertekstual, yakni membandingkan, menjajarkan dan mengkontraskan karya sastra tersebut dengan teks lain dengan mencari hypogram atau landasan penciptaan yang menghubungkan karya tersebut dengan karya sastra lain sebelumnya yang dicerapnya. Untuk lebih jelasnya, nanti, kajian ini akan dibahas terpisah secara terperinci. Dan ketiga, dengan heruestik  dan hermeneutik, yakni (heruestik) membaca karya sastra berdasarkan struktur dan memperjelas artinya, bila perlu menyisipkan
kata atau sinonim kata-kata dengan ditaruh dalam tanda kurung karya tersebut, contohnya dalam puisi. Selanjutnya, (hermeneutik) yakni menafirkannya dengan berusaha memahami secara keseluruhan karya tersebut.
Intertekstua
Di atas aku sudah mengatakan bahwa aku akan menjelaskan kajian intertekstual secara terpisah. Nah, di sinilah tempatnya. Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Bahwa suatu teks penuh dengan makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu, suatu karangan yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
Pengertian “teks” tidak hanya yang tertulis saja atau tidak juga yang suara yang meluncur dari lisan, akan tetapi dalam pengertian umum, ia adalah dunia semesta ini, adat istiadat, kebudayaan film, drama dan lain-lain. Semua itu adalah teks juga. Hubungan antar teks, tidak dipandang melulu bahwa teks yang lahir akibat teks sebelumnya itu senantiasa meneladani teks sebelumnya, tetapi juga yang menyimpang dan memberontak.
Tokoh pertama dalam dunia filsafat yang memperkenalkan pendekatan ini adalah Jecques Derrida, kemudian diperdalam oleh Julia Kristeva. Menurut Julia Kristeva, setiap teks merupakan mozaik dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, setiap teks, mengambil hal-hal yang bagus lalu diolah kembali dalam sebuah karya baru atau karya baru itu ditulis setelah melihat, mencerapi, menyerap hal yang menarik baik sadar maupun tidak sadar. Dalam sastra, yang diserap dapat berupa konvensi sastra atau juga suatu gagasan. Nah, konvensi dan gagasan yang dicerap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hipogram-nya (yang menjadi landasan penciptaan) dengan teks yang baru itu. Teks baru yang menyerap itu dan yang mentrasformasikan hiporgam itu, dalam kajian intertekstual, disebut dengan “teks transformatif”.
Resepsi
Suatu karya sastra tidak akan sama pembacaan, pemahaman dan penelitiannya sepanjang masa dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Karya sastra sejak ia diterbitkan, selalu akan mendapat tanggapan dari pembacanya. Demikian asumsi dari para pengkaji sastra lewat pendekatan resepsi. Mereka dalam mengkaji karya sastra, titik tekan yang dicapat, adalah respon pembaca
Ada dua macam hubungan pembaca dengan karya sastra. Yang pertama disebut “horizon harapan”  (horizon of espextation), istilah ini dicetuskan oleh Hans Robert Jauss. “horizon harapan ini” dapat ditentukan dengan meneliti norma-norma umum yang terpancar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca. Atau dapat dikenali dari pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Bisa juga dari pertentangan antara fiksi dan kenyataan.  Yang kedua disebut “tempat-tempat terbuka” (balnk, opennes), istilah ini dicetuskan oleh Wolfgang Iser. Iser memperkenalkan Konsep Efek (wirkung) yakni cara sebuah karya mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Menurut Iser, dalam sastra terdapat kesenjangan antara teks dan pembaca dan disinilah, menurutnya, terjadi kekosongan atau “tempat terbuka” itu yang kemudian diisi oleh pembaca. Dari kekosongan yang telah diisi itulah terjadi respon antara pembaca sastra yang berbeda-beda.
Bagaimana cara menerapkan pendekatan ini? Pertama, dapat dilakukan secara eksperimental. Caranya, menetapkan objek-objek estetik karya sastra kemudian menetapkan perbedaan dan persamaan objek-objek estetik tersebut yang kemudian pada akhirnya menentukan relasi antar objek tersebut. Tujuannya adalah untuk mengungkap reasksi pembaca masa kini. Kedua, lewat kritik sastra. Bisa dilakukan dengan dua cara. Secara sinkronik, dalam suatu kurun waktu atau secara diakronik, dalam sepanjang sejarahnya. Perlu dicacat bahwa pengambialan simpel respon pembaca ini tidak bisa didasarkan pada tanggapan individual, melainkan dari yang mewakili norma pada masa waktu tertentu. Ketiga, secara intertekstual. Dengan cara meneliti fenomena resepsi pengarang terhadap yang pernah dibacanya dilibatkan dalam ciptaannya dengan menelaah terhadap hiporam-nya.
Stilistika
Secara bahasa, stilistika berarti pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Sedangkan dalam pengertiannya secara umum, dapat dikatakan, bahwa ia merupakan bagian dari ilmu linguistik yang memusatkan perhatiannya kepada variasi penggunaan bahasa. Fokus penelitian stilistika terhadap sastra adalah untuk menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra, yang mungkin juga dapat diarahkan untuk membahas isi.
Jika yang dibahas atilistika adalah penggunaan bahas atau yang disebut dengan gaya bahasa, tetapi, apa itu gaya bahasa? Menurut Enkvist, gaya berarti pembungkus yang membungkus pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya. Bisa juga berarti pilihan di antara pernyataan yang mungkin. Atau sekumpulan ciri pribadi. Atau bisa juga berarti penyimpangan norma atau kaidah. Atau hubungan antara sekumpulan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat.
Ada yang berpendapat bahwa gaya bahasa itu sejatinya datang dari kepribadian seseorang yang tidak bisa ditiru sehingga menjadikan antara satu orang pengarang dengan pengarang lainnya pasti berbeda, menunjukkan ciri khas. Ada pula yang berpendapat ia merupakan ciri sebuah teks yang dapat dicontoh. Ada juga yang menyatakan bahwa ia merupakan kesan yang dihubungkan oleh sebuah kelompok tertentu, lahir dari sebuah kultur.
Kajian stilstika di dalam sastra dapat dilakukan dengan menganalisis tentang sistem linguistik dan membedakan sistem satu dengan sistem lain dengan metode kontras, mangamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal dan berusaha menemukan estetisnya.
Sosiologi Sastra
Sastra menampilkan kehidupan sementara kehudupan itu sendiri, adalah kenyataan sosial. Sastra dapat menumbuhkan siakap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan institusi sosial yang ditentukan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian sastra menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi sastra..
Apa yang maksud dengan sosiologi sastra? Sosiologi sastra adalah kajian sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Yakni: seberapa jauhkah nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial mempengaruhi nilai sastra.
Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah karya sastra yang dikajinya ini memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap karya sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan keduanya? Sasaran kedua adalah konteks sosial dari  sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh mana karya itu mencerminkan sebuah masyarakat.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh peneliti bahwa sastra mungkin tidak dapat dikatakan cermin masyarakat saat ia ditulis, bahwa sifat “lain dari yang lain” sastrawan mempengaruhi pemilihan dan penampilan  fakta-fakta sosial dalam karyanya, bahwa genre sosial biasanya/sering merupakan sikap sosial seluruh masyarakat kelompok tertentu dan bukan sikap seluruh sosial masyarakat dan bahwa satra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dapat diterima sebagai cerminan masyarakat.
Dekonstruksi
Dekontruksi lahir dilatarbelakangi dari sikap seorang filsuf kontemporer bernama Jaques Derrida yang menolak logosentrisme. Logosentrisme adalah keinginan akan suatu pusat atau suatu “kehadiran” akan sabda Tuhan, yang mampu menjelaskan segalanya. Ia merupakan sebuah usaha yang terus-menerus untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan (decentering). Cara Derrida menjalankan misinya itu adalah dengan membangun teori semiotik yang disebut “gramatologi”, yaitu mempertanyakan kembali tanda dan tulisan dengan menolak konsep tanda Sassure penanda dan petanda, dengan konsep “jejak” (trace) yang misterius dan tidak terungkap (imprecitible), deferinsiasi dan tulisan
Dalam aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk membalikkan herarkis terhadap sistem oposisional yang sudah ada. Kemudian melakukan oposisi-oposisi yang sudah klasik, pemelesetan besar-besaran terhadap sistem itu secara keseluruhan. Caranya adalah dengan menentukan oposisi-oposisi tertentu merupakan pemaksaan ideologi  metafisik dengan satu membawa preoposisi-preoposisi dan peranannya dalam nilai metafisika. Menunjukkan bagaimana sistem itu dihancurkan dalam teks yang mengungkap dan bersandar kepadanya. Mempertanyakan oposisi dengan  memakainya dalam argumen sendiri dan menerima kembali dengan suatu pembalikan yang memberinya status akibat dan akibat yang berbeda. Akan tetapi perlu dicatatat bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori. Ia anti teori dan yang dapat kita ambil adalah hanya semangatnya saja.
***
Demikian penjelasanku tentang beberapa pendekatan penelitian sastra dari hasil bacaan beberapa tulisan. Barangkali, bagimu, wahai pembaca, apa yang kutulis ini membingungkan. Ya, begitulah. Perasaanku juga sama seperti itu. Bahwa tulisanku ini kacau. Tapi yasudahlah. Apapun jadinya, yang kutulis ini adalah upayaku untuk mengingat makna. Di samping juga sebagai pengukur seberapa jauh aku memahami sebuah tulisan.
BACA SELENGKAPNYA - BEBERAPA PENDEKATAN TERHADAP PENELITIAN KARYA SASTRA

Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Alat Analisa Novel

1. Sosiologi Sastra
Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).

2. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
a. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979: 4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c) mayarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b) sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

3. Sastra dan Masyarakat
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003: 63), karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya.
Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
1. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
2. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
3. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
4. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006: 322-333).
Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembaca, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.
BACA SELENGKAPNYA - Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Alat Analisa Novel

Sastra Daerah dan Folklor

Minggu, 07 November 2010


SASTRA DAERAH DAN KAITANNYA FOLKLOR
Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara sastra daerah dengan ilmu-ilmu lainnya, terlebih dahulu lebih mendalam ilmu-ilmu yang diperkirakan ada kaitan dengan sastra daerah.

I. FOLKLOR
A. Definisi Folklor
Kata folklor adalah pengindonesian kata Inggris Folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk yang sama artinya dengan kata kolektif (colecctivity). Menurut Alan Dundes (dalam Danadjaja.1984) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni suatu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-menurun. Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jadi, definisi folklor secara keseluruhan: folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Definisi folklor yang dibuat oleh Danandjadja di atas merupakan perluasan dari definisi Jan Harold Brunvand (lihat Brunvand 1968:5). Definisi Brunvand berbunyi: “Folklore may be definied as those materials in culture that circulate traditionally among members of any group in defferent version, whether in oral or by means of customary example”.

B. Ciri-Ciri Folklor
Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya, kita harus mengetahui dahulu ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya, yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. it is oral;
2. it is tradisional;
3. it is exist in different versions;
4. it is usually anounymous
5. it tends to become formurized
Jadi, folklor itu disebakan secara lisan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke satu generasi, yang kadang-kadang penuturannya itu disertai dengan perbuatan (misalnya, mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalang)
Oleh sifatnya yang tradisional, maka folklor itu disebarkan di dalam bentuknya yang relatif tetap, atau di dalam bentuk baku di dalam kelompok masyarakat tertentu. Dan oleh karena folklor itu disebarkan secara lisan, maka makin jauh dari sumbernya folkor ini makin banyak mengalami perubahan, walaupun intinya tetap.
Di dalam masyarakat yang bersifat komunal, pencipta folklor itu tidak diketahui. Ambilah misalnya tembang ilir-ilir dalam sastra lisan Jawa. Tembang ini sangat populer di masyarakat tetapi tembang ini tidak diketahui siapa penciptanya, sehingga orang bebas untuk menafsirkan isinya.
Yang terakhir adalah, folklor itu mempunyai bentuk klise. Di dalam bentuk cerita rakyat misalnya, ada perbandingan sebagai berikut: “matanya bagai bintang timur” (Melayu/Indonesia); ‘ayunan tangannya waktu berjalan bagaikan daun kelapa lepas dari batangnya’. Penyimpangan dari bentuk tetap ini dianggap menyalahi aturan yang ada.
Selain kelima ciri folklor yang dikemukakan oleh Brunvard di atas, ada beberapa lagi ciri folklor yang dikemukakan oleh Danandjaja (1991:3-4), yakni:
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
2. Folklor bersifat tradsional.
3. Foklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini dikarenakan proses penyebarannya melalui tuturan (lisan) sehingga resiko interpolasinya lebih tinggi.
4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
5. Folklor biasanya memiliki bentuk yang berumus dan berpola.
6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
9. Kolektif umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar dan terlalu spontan.

C. Konsep folklor
Konsep folklor itu, sebenarnya mencakup beberapa hal, yakni:
1. Sastra lisan
2. sastra tertulis penduduk daerah pedesaan dan masyarakat kecil
3. ekspresi budaya yang mencakup:
  • teknologi budaya;
  • pengetahuan rakyat;
  • kesenian dan rekreasi (arsitektur tradisional, kerajinan rakyat, seni pandai gamelan, pengetahuan obat-obatan tradisional, ilmu firasat, numerology atau ilmu petungan, seni ukir, tari-tarian dan permainan)

D. Beberapa Macam-Macam Folklor
1. Folkor lisan
Beberapa contoh folklor lisan yang ada di Indonesia yakni (1) bahasa rakyat, (2) ungkapan tradisional, (3) pertanyaan tradisional, (4)sajak dan puisi rakyat, (5) cerita prosa rakyat; dan (6) nyanyian rakyat.
1) Bahasa Rakyat
Bentuk Folklor Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat (dialect) bahasa-bahasa nusantara, misalnya logat bahasa Melayu Kalimantan Barat yang terbagi menjadi beberapa macam logat. Bentuk lain dari bahasa rakyat adalah slang. Menurut kamus Webster’s New World dictionary of the American Langguage (1959), asal slang adalah kosa kata dan idiom para penjahat gelandangan atau kolektif khusus. Maksud diciptakan bahasa slang ini untuk menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar.
Bahasa slang ini di Indonesia dikenal dalam berbagai bentuk, yakni (a) cant (b) argot, (c) Shop Talk (d) Colloquial (d) Sirkumlokusi (e) Gelar kebangsawanan atau jabatan dalam keluarga (Danandjaja, 1984:22)
1) Cant
Cant adalah istilah-istilah digunakan oleh para pencopet di kota-kota besar untuk memberikan isyarat-isyarat kepada temannya. Misalnya istilah jengkol dan rumput. Jengkol yang sebenarnya berarti buah yang semacam dengan Petai, cuma lebih besar bentuknya. Bagi para pencopet jengkol diartikan sebagai kaca mata, karena bentuk Jengkol mirip dengan kaca mata. Istilah ini digunakan sewaktu seorang pencopet atau penjambret menyuruh kawannya untuk merampas kaca mata orang yang hendak dijadikan korbannya.
2) Argot
Argot sering digunakan sebagai bahasa rahasia para homoseks (gay) laki-laki di Jakarta yang mencari nafkah sebagai penata rambur, perancang pakaian, peragawan dan sebagainya. Cara mereka mengubah bahasa mereka adalah dengan cara menyisipkan suku kata in di dalam setiap isitlah Indonesia atau daerah yang mereka gunakan. Misalnya istilah banci setelah disisipi dengan suku kata in menjadi binancini, bule menjadi binunline, dan cakep menjadi cinakinep.
3) Shop talk
Shop talk atau bahasa pedagang umumnya digunakan para pedagang di Jakarta untuk menyatakan istilah harga. Istilah ini dipinjam dari bahsa Cina suku bangsa Hokian, seperti jigo (dua puluh lima), cepe (seratus), seceng (seribu), dan cetiau (satu juta).
4) Colloquial
Colloquial yakni bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional, seperti bahasa para mahasiswa Jakarta yang pada dasarnya adalah bahasa orang Betawi yang dibubuhi dengan istilah khusus, seperti ajegile (gila), menyala bob (sangat menarik).
5) Gelar kebangsawanan
Gelar kebangswnan atau yang sering disebut jabatan tradisional dalam silsilah keluarga masih digunakan sampai sekarang. sebagai contoh, dalam adat Jawa gelar kebangsawanan pria di Jawa Tengah, dengan urutan dari paling rendah sampai paling tinggi; mas, raden, raden mas,raden panji, raden tumenggung, raden ngabehi, raden mas panji, dan raden mas aria; dan untuk wanita adalah; raden roro, raden ejeng, dan raden ayu (Berg, 1902, dan Winter, 1854 dalam Danandjaja. 1982)
Dari beberapa macam bahasa rakyat yang diungkapkan di atas, bahasa rakyat memiliki beberapa fungsi. Adapun fungsi bahasa rakyat sebagai berikut:
a) Untuk memberi serta memperkokoh identitas folknya (slang, cant, shop talk, argot dan sebagainya)
b) Untuk melindungi folk pemilik folklor itu dari ancaman kolektif lain atau penguasa.
c) Untuk memperkokoh kedudukan folknya pada jenjang pelapisan masyarakat.
d) Untuk memperkokoh kepercayaan rakyat dari folknya

2) Ungkapan Tradisional
Menurut Alan Dundes peribahasa atau ungkapan tradsional sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer Taylor peribahasa tidak mungkin untuk diberi definisi. Sedangkan Cervantes mendifinsikannya sebagi “kalimat pendekyang disarikan dari pengalaman yang panjang.”, sedangkan Bertrand Russel menganggapnya sebagai “kebijakan orang banyak yang merupakan kecerdasan seorang” (lihat Dundes, 1968).
Walaupun definisi secara implisit dan ilmiah tidak dapat dikemukakan secara jelas, Brunvard (1968:38) menjelaskan ungkapan tadsional mem[unyai tiga sifat hakiki, yakni (a) Peribahasa harus berupa satukalima ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradsional saja, misalnya “astaga” atau “ajegile’; (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar, misalnya “seperti Cina karam” adalah peribaha, tetapi “seperti Cina ribut” bukan peribahasa; (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yagn dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olah raga dan sebagainya.

3) Pertanyaan Tradisional
Pertanyaan tradisional di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki. Teka-teki adalah pertanyaan tradisional dan mempunyai jawaban tradisional pula. Menurut Alan Dundes dan Robert A. Georges teka teki adalah ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih pelukisan (descriptive), sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabannya (referent) harus diterka (George & Dundes, 1963:113).
Menurut Alan Dundes, teka-teki dapat digolongkan ke dalam dua kategori umum, ykani; (a) Teka-teki yang tidak bertentangan (nonoppositional riddles), dan (b) teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles). Teka-teki yang tidak bertentangan bersifat harfiah, jawabannya dan pertanyaannya adalah identik. Misalnya; “Apa yang Hidup di sungai?” jawabannya adalah; “Ikan”. Sedangkan teka-teki yang bertentangan bersifat kiasan. Sebagai contoh; “Ular melingkar sambil merokok, apakah itu?” jawabannya “Racun nyamuk yang sedang menyala”.

4) Sajak dan Puisi Rakyat
Kekhasan dari genre folklor ini adalah bahwa kalimatnya tidak berbentuk bebas (free phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama (Danandjaja, 1984:46).
Suku-suku bangsa di Indonesia memliki banyak sekali puisi rakyat yang masih belum dikumpulkan apalagi diterbitkan. Suku bangsa Jawa, misalnya, memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan. Puisi rakyat itu dapat dikllasifikasikan ke dalam golongan sinom, pangkur, dan durma (Renneft,1983). Menurut K.A.H. Hidding (1953), pada suku bangsa Sunda ada semacam puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran, yang dalam bahasa daerahnya disebut paparikan. Paparikan Sunda, menurut bentuknya dapat dibandingkan dengan paparikan jawa dan pantun Melayu.

5) Cerita Prosa Rakyat
Menurut Wlliam R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu: (a) mite (myth), (b) legenda (legend), dan (c) dongeng (folktale) (Bascom, 1965:4).
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi, gejala percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya (Bascom, 1965b: 4-5)
Sedangakan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legend ditokohi manusia, walaupun ada kalanya memiliki sifat-sifat yang luar biasa, dan sering kali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya di dunia seperti yang kita kenal sekarang, karena terjadinya belum terlalu lampau. Sebaliknya, dongeng adalah prosa rakyat tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Bascom, 1965b:3-20)

6) Nyanyian Rakyat (Folksongs)
Menurut Jan Harold Brunvard, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folkor yang terdiri dari kata-kata atau lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, terbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brunvard, 1968:130)
Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk folkor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbaul dalam berbagai macam media. Seringkali nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh pengubah lagu profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Beberapa nyanyian rakyat yang masih eksis hingga sekarang yakni, nina bobo, cicak-cicak di dinding, pok ame-ame, dan sebagainya.

2. Folklor setengah lisan
Yang termasuk folklor setengah lisan adalah bahan folklor berupa:
a) Drama rakyat (ketoprak, ludrug, lenong, wayang orang, wayang kulit, topeng, dan lain-lain)
b) Tari (serimpi, kuda lumping, kupu-kupu, serampang duabelas, dan lain-lain)
c) Kepercayaan dan takhayul (gugun tuhon)
d) Upacara-upacara (ulang tahun, kematian, perkawinan, sunatan, pertungangan, dan lain-lain)
e) Peemainan rakyat dan hiburan rakyat (misalnya: macanan, gobak sodor, sundamanda, dan lain-lain)
f) Adat kebiasaan.
g) Pesta-pesta rakyat (wetoran, sekaten, dan lain-lain)



3. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini dibagi dua, yakni: (a) yang berupa material; dan (b) yang berupa bukan material. Yang termasuk bagian yang berupa material adalah mainan (boneka, makanan dan minuman, peralatan dan senjata, alat-alat music, pakaian dan perhiasan, obat-obatan, seni kerajinan tangan dan arsitektur rakyart (bentuk rumah, misalnya). Sedangakan yang termasuk ke dalam bagian yang berupa bukan material adalah bahan-bahan folklor yang berupa: musik (gamelan Sunda, Bali, Jawa), dan bahasa isyarat (mengangguk tanda setuju; mengggelengkan kepala berarti tidak setuju, dan lain-lain).

II. TRADISI LISAN
A. Pengertian
Menurut keputusan atau rumusan UNESCO, yang dinamakan tradisi lisan itu adalah “those traditions which have been transmitted in time and space by the word or art”, yang artinya kurang lebih “tradisi yang ditransmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan (advisory Committee, 1981).
Di dalam hubungan penulisan sejarah, yang dimaksud dengan tradisi lisan secara umum adalah “segala macam keterangan lisan dalam bentuk laporan tentang sesuatu hal yang terjadi pada masa lampau” (Vasina, 1973:19).

B. Jenis-jenis tradisi lisan
Berdasarkan dari definisi di atas, maka tradisi lisan mencakup ke dalam berbagai hal sebagai berikut:
1. yang berupa kesusasteraan lisan;
2. yang berupa teknologi tradisional;
3. yang berupa pegetahuan folk: di luar pusat-puat istana dan kota metropolitan.
4. yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar.
5. yang berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; dan
6. yang berupa hukum adat.

III. SASTRA LISAN
A. Pengertian
Istilah sastra lisan di dalam bahasa Indonesia meupakan terjemahan bahasa Inggris Oral literature. Sastra lisan adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yagn disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (Hutomo, 1991:1).

B. Ciri-ciri
Selain pengertian di atas, hutomo juga menjelaskan ciri-ciri sastra lisan. adapun ciri-ciri sastra lisan adalah sebagai berikut:
1. Penyebarannya melalui mulut; maksudnya ekpresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.
2. Lahir di dalam masyarkat yang masih bercorak desa, masyarkat di luar kota, atau masyarakat yagn belum mengenal huruf.
3. Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial).
4. tidak diketagui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat.
5. Bersifat puitis, teratur, dan berulang-ulang; maksudnya (a) untuk menguatkan ingatan, (b) untuk menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak cepar berubah.
6. tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih memetingkan aspek khayalan/ fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya.
7. terdiri dari berbagai versi.
8. bahasa menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.

C. Genre Dalam Sastra Lisan
1. Sastra lisan murni dan Sastra lisan setengah lisan
Sastra lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar diturunkan secara lisan. sastra ini pada umumnya berbentuk prosa murni (dongeng, cerita hiburan dan lain-lain) dan ada juga yang berbentuk prosa liris (penyampaiannya dengan dilagukan/diiramakan). Jenis lain dari sastra lisan murni adalah bentuk puisi. misalanya dalam bentuk pantun, syair dan parikan. Sedangkan yang dimaksud sastra lisan setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. misalnya wayang orang, wayang kulit, ketoprak, drama rakyat dan sebagainya (Hutomo, 1991:60-61)

D. Fungsi sastra lisan
Hutomo (1991:69-74) menjelaskan ada delapan fungsi sastra lisan yang dapat di lihat dalam kehidupan masyarakat, yakni:
1. Sebagai system proyeksi (perkiraan tentang keadaan di masa yang akan datang ). Sebagai contoh, cerita Sangkuriang yang menceritakan angan-angan terpendam dari seorang anak laki-laki untuk bersenggama dengan ibu kandungnya.
2. Sebagai pengesah kebudayaan. Misalnya, cerita cicak yang mengkhianati Nabi Muhammad. Maksudnya cerita ini mengandung maksud untuk mengesahkan pembunuhan cicak.
3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial. Misalnya pada pribahasa-pribahasa tua. “pagar makan tanaman”.
4. Sebagai alat pendidikan anak. Dalam fungsi ini, cerita rakyat Si Kancil sering digunakan sebagai media pendidikan untuk anak-anak.
5. Untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain. Hal ini tampak dalam karya sastra lisan teka-teki.
6. Untuk memberikan seorang suatu jalan yang diberikan oleh masyarakat agar dia dapat mencela orang lain. Hal ini dapat di lihat dalam pantun.
7. sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan
8. Sebagai hiburan.

E. Penyebaran sastra lisan
Perpindahan dan penyebaran sastra lisan dapat bersifat horizontal dan vertical. Adapun yang dimaksud penyebaran secara horizontal yakni penyebarannya bias dilakukan dari tetangga ke tetangga, dari kampong ke kampong, dari kota ke kota, dan sebagainya. Sedangkan penyebaran vertikal, yakni penyebaran yang dilakukan masih dalam satu lingkungan keluarga, bapak ke anak, dari kakek ke cucu, dari guru ke murid, dan lain-lain.

PENUTUP

I. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab II, dapat kita tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Jika diurutkan, kaitan antara sastra daerah dengan ilmu lainnya dapat di lihat dalam bagan sebagai berikut:

Folklor Sastra daerah Tradisi Lisan Sastra lisan
Dari bagan di atas, jelas yang menduduki peringkat teratas adalah folklor, kemudian sastra daerah, kemudian tradisi lisan dan sastra lisan.
2. Di lihat dari ciri dan fungsi dari keempat disiplin ilmu di atas, tampak jelas bahwa tidak ada perbedaan yang jauh bila ditinjau dari segi proses penyebarannya, semuanya disebarkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Yang membedakannya hanya dalam proses pengklasifikasiannya saja. Terutama antara tradisi lisan dan sastra lisan yang pada hakikatnya hampir sama.
3. Pada saat pengklasifikasian, hendaknya peniliti memerhatikan secara seksama, termasuk ke dalam genre apa objek yang akan ditelitinya. Karena setiap sastra daerah maupun folklor memiliki ciri-cirinya masing-masing. Terutama bila ditinjau dari aspek bentuk dan isi objeknya.
4. Setiap genre sastra lisan memilik kegunaan tersendiri bagi pemiliknya dalam kehidupan sehari-hari.

II. Saran
Adapun saran-saran yang ingin kami sampaikan adalah sebagai berikut:
1. Sastra daerah memliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya kita sebagai generasi muda melestarikan sastra daerah yang mendeskripsikan kehidupan nenek moyang di masa lampau.
2. Di Indonesia sangat beraneka ragam satra daerah yang belum terjamah dan terdokumentasi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hal ini harus dilakukan untuk keaslian dan hilang di telan masa.

Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Depdikbub. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hutomo, suripan sadi. 1991. Mutiara yang terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan.. Surabaya: HISKI.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rustammiri. 2006. Analisis Struktur Cerita Pangeran Baporong. Pontianak: FKIP.

BACA SELENGKAPNYA - Sastra Daerah dan Folklor